Entri Populer

Sabtu, 26 Maret 2011

RADIKAL DAN SPEKULASI

Indonesia merupakan negara yang sudah dikenal sejarah keislamannya. Sejak jatuhnya Suharto, bentuk kebebesan dan toleransi terhadap Islam telah berkembang, sehingga gerakan Islampun semakin kuat, dan retorika anti-AS terus bersuara nyaring. Selanjutnya kita melihat Osama bin Laden berpendapat Asia Tenggara sebagai kawasan yang sangat potensial untuk melakukan latihan dan menggerakkan revolusi. Kawasan Asia Tenggara dianggapnya meliputi sejumlah negara dengan pemerintahan lemah, pengawasan dan penjagaan perbatasan yang keropos, pencurian identitas dan pencucian uang, akses ke pasar senjata dan birokrasi yang korup dan lemah, yang memberi kelompok Islam Anti AS memiliki peluang untuk berlatih perang dan beroperasi.
Ada tokoh yang telah mengidentifikasi Indonesia sebagai mata rantai yang mudah diserang (vulnerable chains) di kawasan itu. Al Qaeda telah mengambil keuntungan dari ketidakstabilan politik serta menganggap Indonesia sebagai garis depan baru. Jamaah Islamiyyah atau Qaidatul Jihad dan Darul Islam ini kemudian memang memiliki tenaga ahli dan sumberdaya lainnya untuk pergerakan teror di Indonesia.
Kemudian kita mendengar gerakan radikal Islam. Walau terpecah dalam berbagai organisasi, kemudian ada kelompok yang memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini, atau menegakkan syariat Islam, serta kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap segala sesuatu yang berbau AS. Gerakan Islam radikal secara psikologis dan sosial tersisihkan dengan sebutan sebagai kaum teroris, sehingga membuat para aktivis gerakan radikal mendirikan habitat tersendiri yang eksklusif dan introvert.
Psikologi gerakan radikal pada intinya adalah gerakan orang yang merasa direndahkan dan marah melihat banyak kaum Muslim menderita akibat ulah Negara adi kuasa maupun anak emasnya yakni Israel. Sehingga dengan teror yang mereka lakukan diharapkan dapat membuat pihak AS dan Barat menilai adanya perlawanan terhadap mereka. Dengan banyaknya serangan bom membuat AS dan lainnya memberikan sumbangan untuk penumpasan terhadap gerakan teroris.
Maka pada saat itu makin menguatnya kampanye perang global terhadap terorisme, Pemerintah Indonesia meresponnya dengan menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan telah berjalan selama kurun waktu tujuh tahun sejak diberlakukan pada bulan Oktober tahun 2002. Keberhasilan pemberantasan tindak pidana terorisme dengan UU ini telah memperoleh pengakuan internasional, terutama sejak pelaku dan jaringan organisasi terorisme Bom Bali I dan Bom Bali II telah dapat diungkap pihak Kepolisian RI. Proses penyusunan draf UU tersebut mengalami perjalanan yang tidak ringan karena isu dalam negeri dari sekelompok muslim telah menyudutkan bahwa UU ini merupakan pesanan pihak AS
Adapun kenyataan peristiwa Bom Bali I ketika itu memerlukan suatu UU Antiterorisme (UUAT) yang tangguh dari tekanan sosial politik di dalam negeri dan tekanan internasional serta harus sesuai dengan kultur masyarakat yang multietnis dan multiagama (Pasal 2). Penolakan kelompok muslim tertentu akhirnya menyurut setelah pemerintah melalui Kementerian Kehakiman berhasil meyakinkan mereka tentang kemaslahatan yang akan dicapai jika UU ini diterima dan sebaliknya jika UU ini ditolak.
Menurut Romly Atmasasmita, Polri telah dengan percaya diri dan kemampuannya berhasil menerapkan UU ini dalam penegakan hukum terhadap berbagai peristiwa bom terorisme karena UU tersebut menggunakan paradigma “to protect dan defend state interest”, “to protect the offenders”, dan “to protect and rehabilitate the victims” yang disebut dengan triangle paradigms approach.
Selanjutnya menurut Sidney Jones pengamat masalah Terorisme asal Australia dalam suatu wawancara dengan salah satu stasiun TV, memberikan pujian atas prestasi Densus 88 AT Polri yang selama ini sudah menangkap kurang lebih 400 orang yang diduga terkait dengan jaringan Terorisme.
Setelah tertangkapnya dan terbunuhnya tokoh-tokoh utama teroris, ternyata Bom masih saja meledak, walau hanya sebuah bom kecil. Masih aktual berita maraknya paket bom membuat praduga mengarah kepada jaringan teroris yang identik dengan kelompok Islam radikal.
Berbagai spekulasi yang masih harus diuji kebenarannya. Misalnya, ada yang mengatakan bom itu adalah buah tangan kelompok yang selama ini dipahami sebagai kelompok teroris. Adapula yang menduga, gurita bom buku ini adalah pekerjaan dinas intelijen; entah dinas intelijen yang mana. Dan seterusnya. Motifnya pun beragam. Ada yang menduga untuk mengalihkan isu kawat diplomatik Kedutaan Amerika Serikat mengenai SBY dan keterlibatannya dalam kasu-kasus tertentu yang dibocorkan WikiLeaks dan diberitakan media massa Australia. Ada juga yang menduga, gurita bom ini adalah pesan yang ditujukan untuk aktivis pembela HAM yang memperjuangkan keberagaman. Adapun Ulil, salah seorang yang menerima bom itu, mengatakan bom itu bermotif politik.
Teror bom buku diyakini dilakukan oleh para pemain lama yang menerapkan metode serta sasaran baru. Ini karena mereka mengalami kesulitan dana dan bahan peledak. Sasarannya pun mengarah ke sosok-sosok tertentu yang dianggap musuh Islam dalam versi mereka.

Berapa pendapat tokoh tentang Bom Buku

1. Al Chaidar: “dengan biaya lebih murah dampak bom buku tetap menimbulkan teror yang luas di tengah masyarakat. Apalagi teror dilakukan secara beruntun. Motif pelaku pemboman ini adalah menebar teror terhadap islam liberal atau yang dianggap musuh masyarakat termasuk salah satunya pihak kepolisian. "Jadi mereka sudah ada daftarnya (nama-nama yang akan menjadi target pengeboman) sejak 2002. Pada 2002 terdaftar 107 yang kemudian menyusut menjadi 70 yang dinilai sebagai musuh. Chaidar juga menuturkan bom buku itu sudah direncanakan lama. Sebab bom buku ini biasa digunakan Indonesia bagian Timur. Perakit bom berasal dari Indonesia Timur, karena bom mikro ini biasa digunakan di sana.
2. Hermawan Sulistyo: Saya duga jaringan teroris lama. Pemainnya baru tapi tetap otaknya jaringan lama. Yang punya kemampuan membuat bom itu jumlahnya banyak, yang bikin kayak itu ada 1.000 orang lebih, itu yang punya kemampuan. Sebagian dari mereka ada yang tidak aktif, sebagian masih aktif. jangan lupa fakta hukum jumlah orang yang ditangkap, diperiksa, dipenjara terkait terorisme jumlahnya total 600 lebih. Kini mereka banyak yang sudah dilepas lagi karena masa hukuman habis. Masih banyak sekali. Kalau bikin satu bom itu paling sedikit butuh 3 atau 4 orang, dari yang beli ini itu plus pembantunya, lalu meracik sampai operasi untuk meledakkan. Yang biasa membuat bom itu jumlahnya ada 1.000 lebih, mungkin 1.500 orang lah. Tapi dari jumlah itu sebagian tidak lagi main begituan, ada yang sekarang jadi pengusaha, ada yang jadi pejabat, ada yang jadi anggota dewan, ada yang kembali lagi menjadi ustad. Tapi masih ada yang aktif. Kalau dari data yang saya miliki, ada 400-500 orang yang punya kemampuan membuat bom dan masih aktif sampai sekarang.
3. Abu Bakar Baasyir: “Sejumlah paket buku berisi bom dikirim ke beberapa alamat. Abu Bakar Ba'asyir menuding Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri berada di balikpaket bom itu”. "Itu hanya bikinan Densus 88 semua direkayasa agar seakan-akan aksi teror itu masih ada di Indonesia, agar nilai dolar turun"
4. Bambang Soesatyo (Rakyat Merdeka Online , 17/3/2011), anggota Komisi III DPR: “Kalau Polri gagal mengungkap pelakunya, publik akan percaya bahwa tangan-tangan kotor pemerintah berada di balik teror bom buku itu,"
5. Reza Amriel Indragiri: Jika sebagian besar masyarakat menilai aksi bom buku yang ditujukan kepada Ulil Abshar Abdala sebagai aksi terorisme, namun tidak bagi ahli psikologi forensik. Menurut Reza Indragiri Amriel, aksi tersebut hanyalah aksi vandalisme belaka. Ayo tiru Amerika Serikat, menyebut kejadian kemarin sebagai aksi vandalisme. Jangan setiap ada bom, kita serta-merta pakai sebutan terorisme (detikcom, 16/3/2011). Menurut Reza, vandalisme lebih di dorong oleh motif pribadi dengan kalkulasi seadanya. Sedangkan teror sudah terorganisasi sehingga lebih sophisticated. "Pelakunya tidak sefanatis/semaniak aksi-aksi terdahulu. Barangkali dia sebatas terinspirasi oleh teror bom surat/paket dari Yaman di AS November lalu. Lebih jauh dia menjelaskan sedikitnya ada 6 fakta yang seharusnya tidak membuat masyarakat sepanik sekarang. Pertama yaitu modusnya adalah bom paket sedangkan dulunya bom bunuh diri. Kedua yaitu bahan peledak sekarang kecil sedangkan yang dulu sangat besar. Ketiga yaitu sasaran sekarang adalah individu sedangkan dulu bersifat massal,". Keempat, sasaran sekarang adalah orang lokal sedangkan dulunya warga dunia. Kelima yaitu disclosure identitas langsung diketahui sebelum kejadian walau bisa saja palsu, dulunya disclosure setelah kejadian. Keenam: rakitan bom sekarang sederhana, dulunya rumit.


Paket Bom Buku

1. Buku dalam paket bom untuk Ulil/ berjudul "Mereka Harus Dibunuh karena Dosa-dosa Mereka Terhadap Islam dan Kaum Muslim". Buku dikirim Sulaiman Azhar yang alamatnya di Bogor ternyata fiktif.
2. Paket buku kedua berjudul "Pesta Narkoba Pejabat Negara" dikirimkan kepada Ketua Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional Gorries Mere. Nama pengirimnya sama dengan pengirim bom buku untuk Ulil.
3. Paket buku ketiga berjudul "Masih Adakah Pancasila" ditujukan ke tokoh Pemuda Pancasila Yapto Suryosumarno. Pengirimnya Busro Jahul yang beralamat di bogor namun ternyata fiktif.
4. Paket buku untuk pemusik grup Dewa, Ahmad Dhani, berjudul "Yahudi Militan". Pengirimnya Alamsyah Mukhtar di Jalan Darmaga, Bogor, yang ternyata sebuah mushola.

Melihat maraknya bom buku, dan timbulnya spekulasi siapa pelakunya. Namun tetap saja opini publik mengganggapnya sebuah kejahatan. Sependapat dengan Weis, Crutchfield, dan Bridges yang menyebutkan: “Meskipun banyak orang yang menerima batasan bahwa kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum pidana, namun kejahatan juga merupakan usaha yang rumit. Para ahli kriminologi sepenuhnya menyadari bahwa apa yang disebut sebagai kejahatan adalah segala hasil dari proses moral, politik dan sosial”. Jika dikaitkan dengan moral, politik dan sosial. Perilaku kejahatan pastilah kelompok yang disisihkan secara politik dan sosial menimbulkan moral dan kepribadian pelaku menjadi perilaku sebuah kejahatan yang dianggap banyak masyarakat walau bagi mereka (pelaku) telah menjadi korban karena telah tersisihkan dari kelompok yang lebih berkuasa. Namun jika ada spekulasi sebagai sebuah konspirasi, jelas karena sebuah proses politik yang dapat membuat opini publik semakin rumit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar